Monday 13 April 2015

Arti Mimpi Menurut Al-Qur’an dan As-Shunnah




                           Mimpi terbagi dua: mimpi yang benar dan yang batil. Mimpi yang benar ialah yang dialami manusia tatkala kondisi psikologisnya seimbang dan keadaan cuaca sedang seperti ditandai oleh bergoyangnya pepohonan
hingga berjatuhannya dedaunan. Mimpi yang benar tidak didahului dengan adanya pikiran dan keinginan akan sesuatu yang kemudian muncul dalam mimpi. Kebenaran mimpi juga tidak ternodai oleh peristiwa junub dan haid. Adapun mimpi yang batil ialah yang ditimbulkan oleh bisikan nafsu, keinginan, dan hasrat. Mimpi demikian tidak dapat ditakwilkan. Demikian pula mimpi “basah” dan mimpi lain yang mewajibkan mandi dikategorikan sebagai mimpi yang batil karena tidak mengandung makna. Sama halnya dengan mimpi yang menakutkan dan menyedihkan karena berasal dari setan. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu adalah dari setan, supaya orang-orang yang beriman itu berduka cita, sedang pembicarana itu tiadalah memberi mudharat sedikitpun kepada mereka, kecuali dengan izin Allah dan kepada Allahlah hendaknya orang-orang yang beriman bertawakal.”(al-Mujaadilah: 10) Jika seseorang mengalami mimpi yang tidak disukai, disunnahkan melakukan limaperbuatan. Yaitu, mengubah posisi tidur, meludah ke kiri sebanyak tiga kali, memohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk, bangun dan shalat, dan tidak menceritakan mimpinya kepada siapa pun. Ustadz Abu Sa’ad berkata, “Pelaku mimpi hendaknya memelihara etika yang perlu dipegang teguh dan memiliki batasan-batasan yang selayaknya tidak dilampaui. Demikian pula halnya dengan pentakwil.” Etika pelaku mimpi ialah, pertama, dia tidak menceritakan mimpinya kepada orang yang hasud sebagaimana dikatakan Ya’kub kepada Yusuf, “Ayahnya berkata, ‘Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudarasaudaramu,maka mereka akan membuat makar untuk membinasakanmu.’” (Yusuf:5)
Kedua, jangan menceritakan mimpinya kepada orang yang bodoh. Nabi saw. bersabda, “Janganlah kamu menceritakan mimpimu kecuali kepada orang yang dicintai atau kepada orang yang pandai.” Ketiga, janganlah menceritakan mimpi kecuali secara rahasia karena dia pun melihatnya secara rahasia pula. Jangan menceritakannya kepada anak-anak dan wanita. Sebaiknya mimpi itu diceritakan menjelang awal tahun dan pada pagi hari, bukan sesudah keduanya lewat.
Adapun etika pentakwil ialah sebagai berikut. Pertama, jika saudaranya menceritakan mimpi kepadanya, maka katakanlah, “Aku kira mimpi itu baik.”
Kedua, hendaknya menakwilkan mimpi dengan cara yang paling baik. Diriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Mimpi akan terjadi sebagaimana ia ditakwilkan.” Juga diriwayatkan bahwabeliau bersabda, “Mimpi itu bagaikan kaki yang menggantung selama belum diungkapkan. Jika telah diungkapkan, maka terjadilah.” Demikian yang disebut dalam asSilsilah ash- Shahihah.
Ketiga, menyimak mimpi dengan baik, kemudian menjawab si penanya dengan jawaban yang mudah dipahami.
Keempat, jangan tergesa-gesa menakwilkan mimpi. Lakukanlah dengan hati-hati.
Kelima, menyembunyikan mimpi dan tidak menyebarkannya sebab ia merupakan amanat.
Jangan menakwilkan mimpi ketika matahari terbit, ketika tergelincir, dan ketika terbenam.
Keenam, memperlakukan pelaku mimpi secara berbeda. Janganlah menakwilkan mimpi raja seperti menakwilkan mimpi rakyat, sebab mimpi itu berbeda karena perbedaan kondisi pelakunya.
Ketujuh, merenungkan mimpi yang dikemukakan kepadanya. Jika mimpi itu baik, maka takwilkanlah dan sampaikanlah kabar gembira kepada pelakunya sebelum
mimpi itu ditakwilkan.
Jika mimpi itu buruk, maka janganlah menakwillkannya atau takwilkanlah bagian mimpi yang takwilnya paling baik. Jika sebagian mimpi itu merupakan kebaikan dan sebagian lagi keburukan, maka bandingkanlah keduanya, lalu ambillah mimpi yang paling tepat dan paling kuat pokoknya. Jika pentakwil mengalami kesulitan, bertanyalah kepada pelaku mimpi ihwal namanya, lalu takwilkannya berdasarkan namanya itu. Argument Positif Dalam buku yang ditulis oleh Ibnu Sirin, pembahasan tentang mimpi dan penafsiran mimpi diambil sumber dari berbagai sudut pandangan dan yang paling terlihat diantara keramaian para filosof sekarang adalah pendangan secara teoritis dari sumber Al-Quran dan sunnah. Dia mengkaji berbagai penafsiran positif dari suatu mimpi. Argument Negatif Argument positif tentang tafsir mimpi tidak sepenuhnya ada kebenaran, namun terdapat juga kesalahan tentang tafsir mimpi yang tidak sesuai dengan apa yang telah diceritakan oleh sipemimpi. Orang sering berkata bahwa mimpi adalah hal gaib dari apa yang kita rasakan, padahal dalam mimpi itu ada kalanya kita bermimpi hal-hal yang menyenangkan dan ada kalanya pada hal yang kita takutkan. Seseorang sering menganggap mimpi bakal jadi kenyataan, karena itu sebagian dari intuisi kita pada saat tidur, nonsens jika orang mengatakan itu. Kita tidur mematikan semua kinerja saraf dan otak kita, jadi tidak mungkin kita berpikir dalam keadaan tidur. Dalam istilah jawa sering orang tua berkata “ mimpi adalah bunga daripada tidur”. Sedangkan dalam hal lain buku yang ditulis oleh ibnu sirin kurang memandang dari segi spesifik psikolog manusia. Dalam penafsiran mimpi setidaknya haruslah berhati-hati karena penggambaran mimpi selain cakupan yang luas juga sulit dalam panggambaran secara detail. Semua mimpi berasal dari penggambaran imajenasi seseorang dalam perlakuan atau kesibukan sehari-hari. Untuk pemahaman gambaran simbolik suatu mimpi maka haruslah diketahui kondisi psikologis seorang tersebut. Jadi psikologis manusia
sangatlah penting dalam menafsirkan suatu mimpi manusia dimana sebelumnya kita perlu mengetahui keadaan psikologisnya. Namun dalam buku tafsir mimpi Ibnu Sirin tidak mengambil rujukan dalam psikologis manusia, dimana psikologis manusia sangat penting dalam melakukan analisis penggambaran, atau imajenasi manusia.
psikologi manusia berada diantara wilayah kesadaran hingga lupa, dan dari wilayah bergejolak hingga tenang. Menurut Al-Qur'an desain kejiwaan manusia diciptakan Tuhan dengan sangat sempurna, berisi kapasitas-kapasitas kejiwaan pemikiran, perasaan dan berkehendak. Seperti halnya akal, hati, hati nurani, syahwat dan hawa nafsu.
Akal yang kerjanya berfikir dan bisa membedakan yang buruk dari yang baik. Akal bisa menemukan kebenaran tetapi tidak bisa menentukannya, oleh karena itu kebenaran `aqly sifatnya relatif. Hal tersebut yang menjadikan manusia berpikir secara mendalam yang sangat berkaitan dengan logika manusia. Dengan adanya akal manusia belajar memimpikan sesuatu dalam
artian membayangkan masa depan, bagaimana dia harus berbuat sesuatu untuk merubah jalan hidupnya. Hati merupakan perdana menteri dari sistem nafsani. Dialah yang memimpin kerja jiwa manusia. Ia bisa memahami realita, disaat akal mengalami kesulitan. Sesuatu yang tidak rasional masih bisa difahami oleh hati. Di dalam hati ada berbagai kekuatan dan penyakit; seperti iman, cinta dengki, keberanian, kemarahan, kesombongan, kedamaian, kekufuran dan sebagainya. Hati memiliki otoritas memutuskan sesuatu tindakan, oleh karena itu segala sesuatu yang disadari oleh hati berimplikasi kepada pahala dan dosa. Apa yang sudah dilupakan oleh hati masuk kedalam memory nafs (alam bawah sadar), dan apa yang sudah dilupakan terkadang muncul dalam mimpi. Sesuai
dengan namanya hati, yang sering tidak konsisten Mata Batin adalah pandangan hati nurani sebagai lawan dari pandangan mata kepala. Berbeda dengan hati yang tidak konsisten, hati nurani selalu konsisten kepada kebenaran dan kejujuran. Ia tidak bisa diajak kompromi untuk menyimpang dari kebenaran. Mata batin disebut juga sebagai nurani. Menurut tasawuf, bashirah adalah cahaya ketuhanan yang ada dalam hati, nurun yaqdzifuhullah fi al qalb. Semuanya bersumber dari sini.
Syahwat adalah motif kepada tingkahlaku. Semua manusia memiliki syahwat terhadap lawan jenis (seksual), bangga terhadap anak-anak, menyukai benda (dan segala sesuatu yang) berharga, kendaraan bagus (gengsi dan kenyamanan), ternak dan kebun. Syahwat adalah sesuatu yang manusiawi dan netral. Menunaikan syahwat secara benar dan halal bernilai ibadah. Memanjakan syahwat berpotensi pada dosa dan kejahatan.
Hawa nafsu adalah dorongan kepada obyek yang rendah dan tercela. Perilaku kejahatan, marah, frustrasi, sombong, perbuatan tidak bertanggung jawab, korupsi, sewenang-wenang dan sebagainya bersumber dari hawa. Karakteristik hawa adalah ingin segera menikmati apa yang diinginkan tanpa mempedulikan nilai-nilai moralitas. Orang yang mematuhi tuntutan hawa, tindakannya cenderung destruktif. Dalam bahasa Indonesia disebut hawa nafsu.
Dari deskripsi psikologis manusia di atas secara terperinci bahwa seseorang dalam menafsirkan mimpi tidaklah cukup melihat dari hal yang horizontal, tetapi seseorang juga harus melihat dari sudut vertical manusia dengan manusia. Jadi dalam menafsirkan mimpi tidaklah cukup dengan faktor keagamaan yang melekat pada diri manusia, aspek psikologis manusia jukup menunjang juga dalam mengidentifikasi suatu penafsiran mimpi untuk mengetahui karakter manusia tersebut juga. Untuk itu sebagai pelengkap dalam menafsirkan mimpi seseorang kita perlu mengetahui keadaan psikologis manusia tersebut, yang selanjutnya kita bias menelaah arti symbolic dari pada mimpi seseorang
Smoga bermanfaat amin....

 

Ustad Ali Al-Habsyi